Sharing is Caring #5 (Budaya Entomofagi sebagai Alternatif bahan Pangan)

 Hai fellas! How's life? Semoga baik-baik aja ya!
Selamat datang kembali di Agneswritespace.blogspot.com

Wah tidak terasa nih kita sudah memasuki Sharing is Caring kelima. Apa ya yang kira-kira kita bahas? hmm tentang makanan menarik sih... 

Nah, kali ini kita akan mempelajari mengenai salah satu alternatif pangan yang tergolong belum banyak diproduksi. 

Penasaran? baca sampai selesai yahh! Semoga bermanfaat :D

Dilatarbelakangi dengan peningkatan penduduk yang terus terjadi per tahunnya berbading lurus dengan kebutuhan pangan untuk kelangsungan hidup, terlebih di negara kita, Indonesia, sebagai negara dengan penduduk terbanyak nomor 4 di dunia. Dilansir melalui website resmi Badan Pusat Statistik yang dapat diakses pada link: https://www.bps.go.id/indicator/12/1976/1/laju-pertumbuhan-penduduk.html, dapat diketahui bahwa terhitung semenjak tahun 2020 hingga 2022, Indonesia terus mengalami pertumbuhan penduduk sekitar 1%. Hal ini menyebabkan diperlukannya alternatif pangan bergizi selain pangan yang biasa dikonsumsi.

Salah satu alternatif pangan yang dapat dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi hewani ialah budaya entomofagi. Entomofagi (dari bahasa Yunani ἔντομον éntomon, "serangga", dan φᾰγεῖν phagein, "makan") adalah budaya konsumsi serangga sebagai makanan. Telur serangga, larva, pupa dan serangga dewasa telah dimakan oleh manusia sejak zaman prasejarah dan berlanjut sebagai bahan nutrisi manusia pada zaman modern. Penggunaan istilah entomofagi menggunakan bahasa inggris serta di negara Eropa merupakan istilah yang baru. Pada awal abad ke 17, Aldrovandi's 'De animalibus Insects' mengemukakan informasi mengenai penggunaan serangga sebagai bahan pangan dan hal ini menjadi sebuah sinyal dari permulaan era baru entomofagi 'new age of entomology', namun, saat itu tidak disebutkan istilah entomophagy. Terdapat beberapa perbedaan jumlah edible insect (serangga yang dapat dikonsumsi) di kawasan tertentu. Afrika memiliki perkiraan edible insects sebanyak 250 spesies, Meksiko terdapat 177 spesies, Thailand terdapat terdapat 164 spesies dan 428 spesies serangga di Amazon. Serangga yang paling banyak dikonsumsi berasal dari ordo Coleoptera yaitu sebanyak 31%. Selebihnya berasal dari ordo Lepidoptera sebesar 18%, Hymenoptera sebesar 14%, Orthoptera sebesar 13%, Hemiptera sebesar 10%, Isoptera sebesar 3%, Odonata sebesar 3%, Diptera sebesar 2%, dan berasal dari Ordo lain sebesar 5%. Secara global yang paling banyak dikonsumsi adalah golongan kumbang, hal ini menjadi sesuatu yang tidak mengherankan lagi karena Coleoptera mempunyai proporsi sekitar 40% diantara Ordo lainnya (Nurzannah dkk., 2021). 

Entomofagi dapat menjadi jawaban untuk masalah kebutuhan gizi protein karena terdapat banyak serangga yang dapat dikonsumsi dengan gizi protein yang tinggi. Kenapa serangga? Hal ini dapat disebabkan karena terdapat banyak kelebihan daging serangga dibandingkan daging lainnya. Serangga memiliki nilai gizi tinggi (bahkan melebihi ayam), hanya memerlukan lahan kecil, menghasilkan GHGs (green house gases) rendah, dan dapat dibiakkan oleh semua kalangan. Selain itu, potensi serangga di Indonesia sangat tinggi karena serangga merupakan salah satu keanekaragaman hayati dengan jumlah 250.000 jenis atau sekitar 15% dari jumlah jenis biota utama yang diketahui di Indonesia sedangkan jika secara global, lebih dari 1900 serangga memiliki potensi sebagai sumber makan (Nurzannah dkk., 2021). Dalam pengembangbiakannya, serangga juga hanya membutuhkan sedikit air dan pakan sehingga lebih hemat.

Berdasarkan data diatas, serangga hanya membutuhkan sedikit pakan untuk meningkatkan 1 kg bobotnya dengan persentase yang bisa dimakan sekitar 80% dari bobot keseluruhan. Menurut Bahari (2022), serangga dari ordo Orthoptera seperti belalang mengandung 449 g protein dalam setiap 100g sedangkan serangga dari ordo Coleoptera seperti ulong dan larva kumbang mealworm mengandung 50g protein dalam setiap 100g hidangan. Data ini menunjukkan bahwa kandungan protein serangga lebih tinggi dibandingkan dengan kandugan dada ayam yang hanya memiliki 31g protein bagi setiap 100g hidangan. Tak hanya itu, serangga juga hanya memerlukan 8% penggunaan tanah dari jumlah keluasan tanah yang diperlukan bagi peternak sapi (Bahari, 2022). Bagaimana teman-teman? Hebat bukan? Meskipun memiliki ukuran badan tergolong kecil namun, serangga memiliki kandungan protein yang tidak kalah tinggi dibandingkan dengan protein hewani lainnya. 

Namun, memang masih banyak orang yang ragu untuk mengonsumsi serangga disebabkan berbagai alasan. Salah satunya ialah rasa geli atau jijik melihat bentuk dari serangga (Wisyaningrum, 2019). Oleh sebab itu, diperlukan pengolahan konsumsi serangga dengan penyajian yang lebih menarik sehingga orang lebih yakin untuk mengonsumsi hewan berukuran kecil ini. Meskipun tergolong sedikit, namun, sudah ada produk berbahan dasar serangga untuk dikonsumsi. Serangga bisa dikelola dan disajikan sebagai pengganti daging sapi ataupun sebagai bahan tambahan nutrisi dalam pengolahan makanan.

Di Indonesia sendiri, budaya entomofagi bukanlah menjadi suatu hal baru. Hal ini dapat kita lihat dari olahan makanan seperti jangkrik goreng dari Ciamis dan Gunungkidul, ulat sagu yang dikonsumsi di Papua, larva tawon serta kepompong jati goreng serta rempeyek laron dari Jawa Timur. Bagaimana teman-teman? Tertarik untuk mengolah serangga sebagai bahan makanan?


Hmm, kalau aku sendiri sudah pernah merasakan walang goreng yang ku dapatkan dari daerah Gunung Kidul DIY serta undur-undur. Terlepas dari teknik dan cara pengolahan yang menjadi faktor utama dalam rasa makanan, namun, menurutku, pada dasarnya serangga yang aku makan memiliki rasa yang gurih dan unik. Rasa yang tentunya berbeda dari daging pada umumnya. Jika teman-teman berkunjung ke daerah Gunung Kidul di Daerah Istimewa Yogyakarta, aku sarankan untuk mencoba olahan walang goreng yah! 
Oiya! kalau aku pribadi sih, sebenarnya ingin mencoba mencicipi ulat sagu namun, sayangnya, aku belum memiliki kesempatan untuk mencobanya. Yah! apabila aku sudah mencobanya, akan kuceritakan di next Sharing and Caring yah! Atau, barangkali teman-teman sudah pernah mencoba ulat sagu atau olahan ulat sagu, boleh nih, kasih tahu bagaimana rasanya di kolom komentar!

Cukup sekian dulu yah teman-teman, see you di Sharing is Caring selanjutnya ya!
Jangan lupa untuk tersenyum dan bersyukur yah! God bless us!

~Nes.

Daftar Pustaka:

Bahari, S. 2022. Entomofagi di Malaysia: alternatif atau keperluan?. Majalah Sains. Kuala Lumpur.

Nurzannah, S. E., Hasibuan, M., Ulina, E. S., Ramija, K. E. L., dan Siagian, D. R. 2021. Serangga sebagai bahan makanan dalam menjaga ketahanan pangan. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia. Jatinangor, 14 Januari 2021. 

Website Badan Pusat Statistik. 2022. https://www.bps.go.id/indicator/12/1976/1/laju-pertumbuhan-penduduk.html. Diakses pada 9 September 2022 pukul 08.30 WIB.

Widyaningrum, G. L. 2019. https://nationalgeographic.grid.id/read/131967595/entomofagi-praktik-makan-serangga-di-kehidupan-sehari-hari-sehatkah?page=all. Diakses pada 9 September 2022 pukul 08.50 WIB. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Agnes #1

Action Plan to Protect Java Sparrow (Lonchura oryzivora)